Senin, 02 Mei 2016

Bercermin dari Perpustakaan Batu Api

Jatinangor merupakan tempat yang tak bisa dipisahkan dalam kehidupan saya. Bagaimana tidak. Sejak masa sekolah, tiap hari saya melewati Jalan Jatinangor. Dilanjutkan masa kuliah di Jatinangor. Dan sempat bekerja pula di tempat ini.

Tak hanya itu, Jatinangor ialah tempat pertama dalam menumbuhkan minat baca saya, yakni di sebuah perpustakaan, bernama Perpustakaan Batu Api. Saya masih ingat ketika awal datang ke Batu Api. Saat memasuki ruang perpustakaan, seorang lelaki tengah duduk di meja pelayanan.

                                             Dokumentasi Pribadi

Saya menanyakan, “Pak, kalau disini bukunya bertema apa aja”?.
Beliau berkata, “Bervariasi. Kamu suka baca tentang apa”?.
“Saya suka sejarah”, saya jawab.
Diambilnya satu buku yang berada di salah satu rak. Buku yang agak tebal tersebut disodorkannya berjudul “Bumi Manusia”. Dari buku inilah awal perkenalan saya dengan Pramoedya Ananta Toer.
“Dia sering disapa Pram. Penuturan sejarah lewat sastra”, jelasnya.
“Saya pernah mendengar namanya di buku paket sejarah selama SMA, karyanya berjudul “Arus Balik”, ungkap saya.
“Itu juga salah satu karyanya. Kadang dia disebut penulis yang kekiri-kirian. Ya, karena bukunya berada di rak sebelah kiri saya. Hehehe”, tambahnya.

Mungkin, saya bukan satu-satunya pengunjung yang diberikan rekomendasi. Tiap anggota perpustakaan yang meminta rujukan koleksi akan diberikan secara senang hati oleh beliau, yang kerap disapa Bang Anton. Dan ini telah menjadi daya tarik Perpustakaan Batu Api yang tetap dikenal oleh anggota perpustakaan.

Adanya rekomendasi yang diberikan Bang Anton, selaku pemilik Perpustakaan Batu Api, menjadikannya disebut sebagai book advisor oleh Amalia, seorang anggota perpustakaan. Pemilik perpustakaan memberikan rekomendasi mengenai koleksi perpustakaan kepada anggota perpustakaan. Rekomendasi diberikan untuk membantu anggota perpustakaan dalam mencari koleksi secara cepat dan tepat melalui penyampaian informasi yang jelas.

Saya pernah heran bagaimana caranya Bang Anton dapat menguasai semua koleksi perpustakaan sebagai panduan dalam memberikan rekomendasi. Bang Anton memberikan penjelasan,
“Eh, selama bertahun-tahun itu, sebetulnya semakin mudah. Datanya makin banyak, buku-bukunya makin banyak, buku dengan tema yang dimaksud makin banyak, bisa makin mudah untuk ngasih tau ke orang. Meskipun terbatas karna orang makin banyak dateng. Caranya, ya, akhirnya mereka tau dari mulut ke mulut klo bahan itu sulit didapat dan ga ada di tempat lain, itu doang. Si polanya udah ketemu” (24/11/2015).  
Menurutnya, buku dengan tema yang beragam makin bertambah dan berkembang sehingga memudahkan untuk memberitahukan kepada anggota perpustakaan. Selain itu, anggota perpustakaan yang telah menemukan buku yang sedang dicari akan memberitahukan keberadaan buku tersebut dari mulut ke mulut. Sehingga Bang Anton akan kembali ditanyai mengenai buku-buku yang sebelumnya ditanyakan oleh anggota perpustakaan. Jadi, polanya ialah Bang Anton selalu mengingat buku mengenai tema-tema tertentu.

Bang Anton memiliki daya ingat dan analisis yang tajam diperolehnya dari beberapa kebiasaan yang telah menjadi rutinitasnya, diantaranya membaca, menulis, mendengarkan musik, menonton film, mendokumentasikan beberapa kajian dan berdiskusi atau lebih tepatnya mengobrol santai. Dan semua kegiatannya ini dimotivasi rasa cintanya dalam dunia literatur. Terbukti perpustakaan yang berdiri sejak 1 April 1999 masih berdiri hingga kini dan melayani anggota perpustakaan setiap harinya.

Kiprah Bang Anton dalam melayani anggota perpustakaan di Perpustakaan Batu Api patut dicontoh oleh kita, para pustakawan atau pengelola perpustakaan di tiap perpustakaan. Adanya kemajuan dalam perlengkapan pelayanan perpustakaan yang serba digital tidak dapat menggeser peranan pustakawan atau pengelola perpustakaan dalam melayani anggota perpustakaan.

Pustakawan atau pengelola perpustakaan harus memiliki pengetahuan mengenai koleksi perpustakaan sebagai bekal berkomunikasi dengan anggota perpustakaan. Diawali “Minat dan rasa ingin tahu” (Anton S.). Minat ialah hasrat ketertarikan. Ingin tahu ialah ingin memahami suatu hal.


Jadi, sebuah perpustakaan dapat berlangsung lama tergantung pada pustakawan atau pengelola perpustakaannya. Saya, sebagai pustakawan patut bercermin diri melihat keseriusan Bang Anton mengelola perpustakaan. Audri, anggota perpustakaan, menggambarkannya dengan dua kata, “Konsisten dan kerja keras”. (3/04/2016).

Jumat, 22 April 2016

Pernikahan Abad 20

                    http://soloposfm.com/2016/04/21/presiden-jokowi-ucapkan-selamat-                                  hari-kartini/

Dalam memperingati Hari Kartini, serempak di program televisi, para pengisi acara menggunakan kebaya, sarung dan rambut bersanggul. Ini mereka lakukan untuk mengenang jasa dan pengorbanan Kartini dalam mengangkat harkat martabat perempuan melalui pendidikan.

Tapi, cukupkah hal tersebut kita lakukan untuk mengenang jasa dan pengorbanan Kartini? Karena setelah tanggal 21 April, kebaya, sarung dan rambut bersanggul pun tak dikenakan lagi.

Kartini telah membantu rakyat terutama kaum perempuan di bidang pendidikan. Ini merupakan kerja keras yang dilakukannya di tengah kaum feodalisme yang menentangnya, termasuk ayahnya sendiri. Ini dikatakannya dalam surat kepada Estella Zeehandelaar,
“Indah dan mulia tugas yang memanggil kita untuk berjuang bagi kepentingan agung, bekerja buat kemajuan wanita Pribumi yang tertindas, peningkatan rakyat Pribumi, pendeknya menjadi berarti bagi masyarakat, bekerja bagi keabadian; tapi tiadalah aku bisa bertanggung jawab kepada nuraniku, pabila aku serahkan diriku kepada orang-orang lain itu, sementara itu Ayahku, yang paling dahulu berhak atas diriku, kubiarkan menderita dan sakit-sakitan, sedangkan ia membutuhkanku” (Toer, 2003:59).  
  
Kartini mencintai rakyat dan ayahnya. Namun, beliau tak bisa menolak tatkala sang ayah menyuruhnya mengikuti adat dan tradisi Jawa, bahwa kaum perempuan berada di rumah, dipingit dan menikah. Kartini tidak berdiam diri. Kartini berada di rumah, yang disebutnya, “kotak” (Toer, 2003:66), menjalani baktinya sebagai anak dan aktif surat menyurat kepada teman-temannya di Belanda. Kartini menyebutnya hal ini sebagai sebuah bentuk perjuangan.

Bagaimana dengan kita, khususnya perempuan yang sudah menikah di abad 20? Saya berterima kasih kepada Kartini yang telah meningkatkan derajat perempuan di negeri ini. Kita bisa lihat sekarang bahwa beberapa perempuan telah menempati profesi yang dijalani oleh laki-laki dan bahkan mampu bersaing. Walaupun, sebagian perempuan masih belum menerima perlakuan yang adil, keamanan dan perlindungan di Indonesia.

Saya hanya akan menyoroti peranan perempuan yang telah menikah di abad sekarang setelah berkaca kepada perjalanan hidup Kartini. Menurut saya, perempuan yang telah menikah memiliki kebebasan untuk menjadi ibu rumah tangga atau bekerja. Syaratnya ialah adanya persetujuan suami, anak dan keluarga mampu terurusi. Meskipun, ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa menjadi ibu rumah tangga ialah pilihan terbaik. Saya tidak bisa menyetujuinya selama suami, anak menyetujui dan mendukung pilihan istri.

Intinya ialah keterbukaan dalam keluarga. Istri dapat mengutarakan gagasan secara terbuka kepada suami dan anak. Apabila saya kembali ke tahun 1901, Kartini tidak bisa mengutarakan pemikirannya langsung kepada keluarga karena terganjal peraturan dan adat. Kartini dalam surat menyuratnya kepada sahabatnya di Belanda mengatakan, “Gadis tak boleh punya hak, karena bagaimana pun itu akan merugikan kepentingan lelaki. Hak si gadis ialah apa yang abangnya yang tiada angkara murka itu mengizinkan” (Toer, 2003:72). Jadi, jelaslah bahwa perempuan tidak memiliki kuasa untuk berbicara dalam keluarga pada waktu itu.

Sekarang, saya patut bersyukur bahwa perempuan memiliki kebebasan berbicara dan mengungkapkan pikiran dalam keluarga.  Laki-laki sebagai suami pun dapat saling mengungkapkan pemikiran dan perasaannya. Sehingga tidak ada lagi kesenjangan antara istri dengan suami. Menurut saya seperti itu, bahwa memaknai Hari Kartini dapat dimulai dari yang paling dekat dulu, yakni keluarga. Maka, para suami dan istri dapat mengobrol sambil masak bersama di dapur. Rasa masakan yang keasinan atau kemanisan pun akan terasa enak saja.
                                                          Manglayang, 22 April 2016     

Rujukan
Toer, Pramoedya Ananta. 2003. “Panggil Aku Kartini Saja”. Jakarta: Lentera Dipantara.

Selasa, 19 April 2016

Ibu – Ibu Lebay

                                     http://www.textgiraffe.com/Ilma/Page2/

Sekarang, Ilma berusia 8 bulan lebih dua minggu, berat badan 10 kg lebih 5 ons. Kedua pipinya tambah tembem, membuat saya terus menciumnya. Ia pun berkata, “Babababa, Mama”.

Saya tak bisa berada jauh dengannya. Hal ini menjadi alasan saya berhenti kerja yang memakan waktu dari pagi hingga sore hari. Sebulan lalu, saya berangkat kerja tiap Pkl. 06.30 dan kembali ke rumah Pkl. 17.30. Jarak dari rumah ke kantor begitu jauh. Adakalanya, mata saya basah saat membayangkan Ilma ketika berangkat pagi di travel.

Saya berdoa semoga bisa menjadi sabar dan kuat. Namun, saya tak mampu. Puncaknya adalah ketika mengetahui bahwa salah satu saudara telah memberikan makanan yang belum pantas dimakannya. Padahal, saya selalu mewanti-wanti pengasuh untuk menjaga makanannya. Tetap saja kecolongan. Ini karena saya tak bisa tiap hari mengontrol, menjaga dan merawat Ilma. Saya makin merasa bersalah.

Walaupun teman saya, Mas Kelik berkata, “Kamu kan kerja demi masa depan anakmu, toh. Jadi, jangan merasa bersalah”. Ini bisa menjadi alasan juga kenapa saya harus tetap bekerja. Disamping mengembangkan pengetahuan yang saya miliki dan membantu suami meningkatkan  perekonomian keluarga. Tapi, hati kecil saya tidak merasa tenang. Tiap kali berpamitan berangkat kerja, raut muka Ilma datar, seolah-olah ia berkata, “Mama, apa yang kau cari di sana? Aku hanya ingin disusui, disuapi, dipeluk dan digendong olehmu”.

Benar kata salah satu narasumber penelitian saya, Bu Leni, bahwa masa kecil anak hanya seumur hidup sekali, tak akan tergantikan di waktu lain. Sama seperti saat menyusui Ilma. Walaupun kedua puting payudara luka hingga berdarah, Ilma harus tetap menerima ASI. Karena tujuan hidup seorang ibu bukan lagi untuk kepentingan dirinya sendiri, namun untuk kehidupan anaknya.

Maka, tiap kali berangkat kerja, saya membawa cooler bag, tas yang berisi alat memerah ASI. Ya, kadang pula tak mencukupi kebutuhan ASI Ilma sehingga dibantu susu formula. Walaupun saya dapat memenuhi kebutuhan ASI Ilma, saya tetap khawatir kondisinya di rumah. Mungkin, orang lain akan bilang saya sebagai, “ibu-ibu lebay”. Di saat kerja, hati saya selalu ada di rumah. Jadinya, perasaan tidak tenang tiap bekerja. Bagaimana saya ingin menceritakan tentang dunia Totochan, Pangeran Kecil dan dunia dongeng lainnya kalau saya tak berada di rumah.

Semoga, saya dapat mendapatkan pekerjaan lagi yang tidak menuntut untuk pergi setiap hari. Saya tetap bisa mengurus keluarga dan memiliki waktu untuk membaca dan menulis. Bukankah kehidupan itu satu kali saja? Kenapa tidak dinikmati. Maka, Ilma akan bilang, “Wawawawa, Mama”.

                                                                   Manglayang, 14 April 2016

Jumat, 22 November 2013

Ketika Night Train in Lisbon Menyadarkan Raimund





Judul : Night Train in Lisbon
Penulis : Pascal Mercier dari buku Filmed em Lisboa
Sutadara : Bille August
Pemain : Jeremy Irons, Melanie Laurent, Jack Huston, Martina Gedeck Tom Courtney, Agust Diehl

Pagi yang hujan di Switzerland. Ketika Raimund Greorius hendak pergi mengajar, dia melihat seorang wanita bermantel merah hendak meloncat dari atas jembatan. Wanita itu telah terselamatkan namun mantel merahnya tertinggal di tangan Raimund. Dia mencari identitas wanita itu dalam mantel itu tapi dia hanya menemukan sebuah buku kecil berjudul ‘Um Ourivas das Palavaras’ karya Amadeu de Almeida beserta tiket kereta ke Lisbon. Ia merubah rencana pencarian identitas wanita itu menjadi mencari identitas pengarang buku tersebut. Maka dimulailah perjalanannya ke Lisbon.

“We live here now, everything before us is the past mostly forgetten. What could what to do with? All the time left in front of us?”. Paragraf pertama dibacanya. Kehidupan Amadeu makin dikenalnya setelah ia bertemu Andriana sebagai kakak kandungnya, Jorge O’Kelly; Joa O Eca; Stefania sebagai teman perjuangan revolusinya. “Dia saudaraku yang hebat, saya tak harus kehilangannya”, ujar Andriana. Walau ayahnya selalu menentang kegiatan revolusi Amadeu, di saat pemakaman ayahnya bilang “Anakku tercinta seorang pejuang revolusi”. Ayahnya tak pernah memberikan senyum untuk Amadeu sejak dia memberikan pidato semangat revolusi di kebaktian gereja. Tapi, dia malah memberikan senyum disertai tangis di rumah terakhir Amadeu.

Jorge sebagai teman saat disekolah, sangat mengenal kepribadian Amadeu. Namun, dia tak bisa menerima kalau Stefanie, kekasihnya, lebih menyukai Amadeu. Stefanie, sebagai penerima dan penyebar nomor dan nama para pendukung revolusi terpikat pada Amadeu ketika pertama kali bertemu dengannya. Joa O Eca, sebagai teman Amadeu yang dikenalkan oleh Jorge, berjuang bersama mengadakan pertemuan-pertemuan di ruang-ruang gelap. Pada akhirnya, sebelum para pendukung revolusi menggulingkan kekuasaan Antonio de Oiveira Salazar, mereka semua terpecah belah. Amadeu mengantar Stefanie ke tempat yang lebih jauh dari Lisbon. Jorge menjauhkan diri dari keramaian dengan menjadi seorang apoteker. Joa O Eca, mendekam di jebloskan ke penjara oleh tangan kanan sang diktator. “Kau tahu Raimund, masa tahanan tak terasa panjang ketika Amadeu menjengukku sambil membawa sebungkus rokok dan buku-buku”, ujar Joa.

Raimund bagaikan seseorang yang tak bermakna setelah mengenal kehidupan mereka. “Mereka hidup dengan berbagai problema, tapi mereka ada, lalu di manakah aku”?. Kegiatan keseharian Raimund yang membosankan membuatnya disebut seorang yang membosankan oleh mantan istrinya. Perjalanan mengenal kehidupan Amadeu ke Lisbon malah membuatnya menemukan kembali jati dirinya. Di depan kereta api yang akan melaju, Mariana bertanya,”maukah kau tinggal di sini”?. Jawabannya diiringi derungan kereta api yang melaju perlahan.

Suasana era Antonio de Oiveira Salazar di Lisbon tampak suram, tegang, dan penuh duka. Cahaya terang hanya muncul dari semangat para pejuang revolusi. Mereka berkejar-kejaran dengan para kaki tangan Antonio. Hingga akhirnya mereka terpecah belah. 
“Bagaimana dengan kode-kode yang kau ingat”, tanya Raimund pada Stefanie.
“ Aku menyalinnya, lalu diserahkan pada teman seperjuangan, akhirnya tergulinglah kekuasaan Antonio”, jawabnya.
Tidak ada rasa penyesalan di wajah mereka. Itulah yang membuat Raimund yakin kalau hidupnya tidaklah membosankan.

23 November 2013

BIBLIOTHERAPHY THROUGH BOOKS

Man, his name Riri, 30 years old, works as a guard in Faculty of Pharmacy Unpad. He had been killed by 15 person. Based on report Ruedy de Vriest as Police Jatinangor at www.regional.kompas.com that some killer are teens, from yunior high school and senior high school. They killed him because revenge had separated when dangdut partied.

People in Jatinangor are concerned students had killed him. When a students was interrogated by police, he said “that he just followed his friends”. So, what were they thinking when they killed him? And then who is to blame for the actions of their negatives? Is their family, their environment or their school?

As a human, there is no family that desire their sons do mistakes actions. In environment too, we can’t still keep sons when they associate with their friends. If we forbid anything to them, they will more and more do it. Therefore, we must increase their positive personality. If their positive personality increase, they will have abilty to choose a good environment to confront permuiscuity to the influence of rapid technological.

They can follow guide and counseling at school through the book, which is called bibliotheraphy. We can guide and do counseling at school in order that increase the potencial their positive personality, can solve problem, and can adapt to its environment. According to Yuliawati in the Journal Visi Pustaka, counselor or teacher guide and counseling should chapture the main message from student and give priority to purpose student (Yuliawati, 21:2011).

Book as a media to obtain information and knowledge, and too as a therapy or healing for the students with hearing mental, trauma, and stress. Book as a therapy media is called bibliotheraphy. According to Jachna in Yuliawati on Visi Pustaka Journal, bibliotheraphy is “encourgment psikotheraphy through book for help some people that have problem. This therapy media is high recommended, especially for students who are difficult to verbally express his personal problems” (Yuliawati, 21:2011).

Counselor or teacher the guide and counseling and the libraryan can cooperate to persuade them to read book that they like, discuss, write, and tell about their personal experiences. A book can be a media to self reflextion and controlling emotions readers. There are sympathy and empaty of story characters.

So, the student can do positive and can distinguish where is good action or wrong action. We can’t improve thing in the past. But we will can begin in the nearest environment of them. There are no mistakes that can’t be fixed.

*Naskah ini dibawakan saat pidato di International Meeting KEC Course.


BIBLIOGRAPHY
Perdana, Putra Prima. 2013. Pelaku Utama Pembunuh Satpam Unpad Masih Buron. Pada website http://regional.kompas.com/read/2013/11/04/1627599/Pelaku.Utama.Pembunuh.Satpam.Unpad.Masih.Buron [Diakses pada 12 November 2013].
Yuliawati, Redita. 2011. Pelayanan Bimbingan dan Konseling Berbasis Biblioterapi: Sebuah Upaya Pengembangan Perpustakaan Sekolah.  Jurnal Visipustaka, Vol. 13, No. 3, Jakarta: Perpustakaan Nasional R.I. Hal. 19-24

Rabu, 14 Agustus 2013

KARAWANG: JUMPA PERTAMA


Hari Minggu (11/8/2013) sekitar Pkl. 09.00, kami berangkat menuju Karawang dari Ciruluk, Tanjungsari. Pkl. 09.30, saudara saya membeli tahu sumedang yang berada di daerah Cikuda. Mobil-mobil pengunjung telah memenuhi lahan parkir. “Alhamdulillah, ti bulan syaum keneh seer nu meser”, ujar Ibu pemilik warung dekat toko tahu sumedang. Saya membeli makanan cemilan sambil menunggu saudara yang sedang mengantri membeli tahu sumedang, “aduh, antrian 50 yeh”, Uwa berkata. Hawa panas dan debu dari depan jalan tak menghalangi saudara saya untuk membeli tahu yang tersohor di Jatinangor ini.

Tak sampai 30 menit, saudara saya telah membawa beberapa keranjang tahu sumedang. Ternyata dia berhasil mengelabui pegawainya dengan mengambil nomor undian yang lebih kecil, “Kebayang kan mun dapat antrian 50”, ujarnya. Cerdik juga. Dibandingkan saya, dia lebih berani dalam hal mengantri. Saudara saya mulai mengemudi mobil kembali menuju Karawang. Para pengunjung tetap membludak mengantri membeli tahu sumedang. Saya jadi teringat ketika masa OSPEK kuliah dulu, kami sekelompok mengerjakan tugas sambil makan tahu di tempat yang masih sepi ini.

Setelah tol Cileunyi terlewati, keponakanku tertidur di kedua paha saya. Selang tak berapa lama, saya pun ikut tertidur. Ketika terbangun, arah mobil memasuki Kota Bukit Indah, lalu Cikopo. “Nanti, kalau turun bus di sini, tinggal naik angkot saja ke Cikampek”, kata saudaraku. Mobil ini berbelok ke kiri lalu lurus. Saudara saya terus memberitahu agar saya mengingat arah jalan. Jujur, saya pusing melihatnya. Mobil yang dilaju mengambil jalan pintas masuk ke dalam suatu perumahan, berbelok-belok seperti ular yang bergoyang, keluar lalu masuk ke jalan raya, belok ke kanan lurus. Beberapa tempat telah terlewati, seperti KUA tempat saudara saya bekerja dan konter HP milik temannya. Akhirnya, ketika saya lihat plang bertulisan Jalan Bangbu Desa Jatisari, mobil pun berbelok ke kanan. Jalan gang ini agak besar hingga dapat muat dua mobil, namun jalan tanahnya berlubang dan tidak rata. Hujan lama tidak turun membuat dedaunan pohon dan pagar tiap rumah berwarna cokelat kekuning-kuningan.

Sesampainya di rumah milik saudara, kami memindahkan barang-barang bawaan di mobil. Lalu kami menikmati hawa Karawang yang panas di teras samping rumah, hawa panas ini membuat kulit terasa lengket dan kepala  agak berat. Untungnya kelapa muda yang dicampur gula kawung  membantu kepala agak ringan. Dan santapan makan siang sayur asem, ikan asin, daging sapi bumbu, tahu, dan sambal telah disediakan Uwa Dede di meja makan. Kami langsung tancap gas menyantapnya.

Setelah Uwa dan saudara pulang ke Tanjungsari, tinggal saya yang numpang menginap di rumah saudara yang tinggal di Karawang. Sorenya, saya ditraktir makan mie baso khas Jalan Bangbu, mie bihunnya terdapat dua warna, warna putih dan biru, berbeda sekali dengan mie baso yang di kampung saya. Harga seporsinya Rp.8000, memang lebih mahal daripada di kampung saya.
Malam terasa bergerak cepat di sini. Saya kebagian tidur di kamar belakang, berdekatan dengan dapur dan kamar mandi. Saya tidur pulas hanya satu jam saja. Sisa waktu dipakai memerangi nyamuk yang menyerbu di kamar ini. Memang, saudara saya telah bilang berapa kali kalau di Karawang banyak nyamuk. Saya pikir bila telah dismeprot obat nyamuk satu kali semua nyamuk langsung menghilang. Nyatanya, malah bertambah saja koloninya. Sebelum saya tidur, kamar ini telah disemprot obat nyamuk. Obat nyamuk ini hanya bertahan beberapa jam saja. Nyamuk-nyamuk banyak menghinggapi saya ketika tidur. Posisi tidur sudah miring kanan, kiri, telungkup tetap saja dihinggapi nyamuk. Suaranya yang mendengung membuat berisik kamar ini. Pada Pkl. 03.00 Shubuh, setelah pergi ke kamar mandi, saya menemukan sebotol obat nyamuk di bawah ranjang. Saya langsung semprot tiap sudut kamar ini, memang baunya menusuk, tapi demi ketentraman saat tidur aku menahan baunya. Alhasil, nyamuk-nyamuk terkapar meregang nyawa di lantai. Aku pun tidur kembali, menyimpan tenaga untuk survey tempat nanti pagi.

Suami saudara saya mengantar survey tempat mengajar menggunakan motor barunya. Saya yang berada di jok belakang merasa was-was karena motor yang dilajunya sangat cepat. Entahlah, bila saya yang mengendarai motor dengan kecepatan 60 km/h ke atas serasa tak ngebut. Motor besar ini menyalip tiap mobil dan motor yang menghadangnya. Kulihat kiri dan kanan jalan. Suasananya serasa di daerah Banjar dan Pangandaran. Para petani membawa jerami atau barang-barangnya menggunakan sepedah. Ketika melewati satu pasar, ada sebuah toko yang khusus menjual perlengkapan mayat. Tulisan dalam spanduknya terang-terangan menyediakan berbagai perlengkapan mayat, seperti boeh, ,kamper, kain kafan, dan tikar pandan. Rak depan tokonya pun diisi sebuah perlengkapan mayat yang telah dibungkus dan siap pakai. Terasa aneh melihatnya. Ketika hamparan sawah dilewati, lokasi yang dituju pun ketemu. Plang nama sekolahnya dengan gedungnya jauh lagi , jika naik motor perlu 10 menit. Inilah gedung yang akan saya kunjungi tiap minggunya.

Orang-orang telah memenuhi tempat menunggu bus ini. Telah 3 bus jurusan Cikarang-Bandung lewat begitu saja. Saya menunggu jurusan bus yang ke daerah Garut atau Tasik. Alasannya biar saya turun di daerah Cileunyi. Tak lama, bus jurusan Garut-Cikarang berhenti di di depan saya. Setelah pamit ke saudara yang mengantar, bus ini pun kunaiki. Inilah bus kali pertama kunaiki dari Karawang dan untuk tiap minggunya. (14/8/2013)